Kuliah Psikologi; Mau Jadi Apa? #2
Ada
beberapa pertanyaan khas yang diajukan orang-orang untuk para mahasiswa baru,
biasanya berkutat seputar kenapa memilih jurusan ini, jurusan itu? Apa
motivasinya? Pilihan sendiri, paksaan orang tua, atau karena “kecelakaan”? Dan
pertanyaan yang sedikit berbobot adalah ketika ditanya, kira-kira nanti
akan jadi apa? Pertanyaan yang terakhir inilah yang sering membuat kalang
kabut. Sebab, sebelum dijawab “menjadi Psikolog”, biasanya langsung ada
pernyataan timpalan dengan intonasi kurang menarik, “yakin, mau jadi Psikolog?”
dengan intonasi sedikit miris_sekedar pengantar.
Catatan
ini tidak bermaksud skeptis atau menyebarkan virus pesimisme di kalangan
mahasiswa psikologi. Tapi, justru sebaliknya, agar mereka tetap semangat dan sukses menjadi
mahasiswa impian. Ini hanya salah satu dari sedikit bentuk kegundahan saya
ketika ada orang yang bertanya tentang profesi, sekaligus penjelasan singkat
bagi mereka yang “meragukan” masa depan pasca menjadi sarjana psikologi atau
bagi mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang “nasib” psikologi.
Idealnya,
keberadaan seseorang di lingkungan pendidikan adalah untuk menuntut ilmu dan belajar;
menambah pengetahuan, lalu menciptakan perubahan. Tapi seiring dengan
perkembangan zaman, dunia mempunyai tolak ukur baru yang lahir dari “ijtihad
global” bernama materialism, sehingga hampir segala sesuatu diperhitungkan atas
dasar materi dan untung-rugi. Dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Seringkali
pendidikan dikaitkan dengan pekerjaan dan profesi di masa yang akan datang. Dunia
pendidikan menjadi terkesan sangat materialis karena selalu ditarik ke ranah
dunia pasca kelulusan, yakni dunia kerja. Satu sisi, fenomena ini terlalu naïf.
Tapi di sisi yang lain, bisa jadi sangat realistis; tentang ijasah dan
pekerjaan.
Akibat
sederhananya, saat ini ada pembagian jurusan berdasarkan prospek dan tidaknya.
Jurusan-jurusan seperti jurusan tehnik, kedokteran, komunikasi, ekonomi dan
menajemen, tidak akan pernah sepi dari peminat. Bahkan selalu sould out dan
mbludak. Sementara itu, jurusan yang sifatnya keagamaan (terlebih di
perguruan tinggi islam) semakin hari semakin samar-memudar, semakin tua
dan ringkih, yang dengan iming-iming beasiswa pun terkadang masih banyak yang
tak berminat, hampir selalu menjadi pilihan terakhir.
Lalu,
kuliah di Fakultas Psikologi mau jadi apa? Ada satu profesi khusus yang sudah
pasti, yaitu menjadi seorang Psikolog, dengan syarat menyelesaikan pendidikan magister
sekaligus dengan pendidikan profesinya. Tapi jika profesi itu harus diukur
dengan penghasilan yang didapatkan, untuk Indonesia, profesi psikolog masih
terlalu “menakutkan”.
Meski
sama-sama mengobati, sebagaimana dokter, tapi budaya Indonesia dan masyarakat
kebanyakan lebih mempercayai pengobatan yang sifatnya tampak dan jelas seperti
obat dan injeksi untuk penderita penyakit. Sementara psikolog, pengobatannya
lebih bersifat komprehensif dan terapi
psiko-sosial, sehingga tak cukup hanya sekali datang, mungkin sampai puluhan terapi
yang digunakan dengan tanpa obat dan tanpa garansi kesembuhan. Tentu saja
seorang klien harus merogoh kocek dalam-dalam. Di Indonesia, persoalan payment
menjadi problem, sehingga terkesan hanya orang berduit yang bisa mendatangi
psikolog. Belum lagi jika dikaitkan dengan asumsi masyarakat yang masih
“apatis” terhadap para psikolog. Artinya, jika mendatangi seorang psikolog,
anggapan yang muncul adalah tidak sehat mental, tidak normal, bahkan gila.
Padahal, tidak seperti itu adanya.
Selanjutnya,
jika tidak menjadi psikolog, sarjana psikologi bisa bekerja di perusahaan atau
industri sebagai karyawan di devisi/bagian human resources alias SDM
bergabung bersama alumni jurusan ekonomi manajemen. Yang saya bingungkan
adalah, sejauh mana batasan dan sekat antara kerja bidang psikologi dengan
bidang managemen dalam satu naungan bernama devisi SDM? Sejauh pengetahuan
saya, yang paling banyak berperan justru masalah manajemennya, daripada
psikologinya. Mungkin pengetahuan saya tentang ini masih kurang, jadi bisa jadi
asumsi saya salah.
Kemudian,
kalau dalam dunia pendidikan bisa menjadi guru BK alias guru Bimbingan dan
Konseling. Secara praktis, kenyataannya, memang banyak lulusan psikologi yang
menjadi guru BK, padahal secara legal formal itu menyalahi aturan. Guru BK
adalah mereka yang lulus dari fakultas pendidikan dengan jurusan khusus
Bimbingan dan Konseling dan mengambil profesi konselor. Menurut dosen pengampu
mata kuliah Psikologi Konseling, jurusan psikologi hanya belajar beberapa mata
kuliah saja tentang BK, yaitu psikologi konseling, mikro konseling. Akan sangat
tidak fair jika jurusan psikologi mengambil “jatah” profesi mereka yang
selama empat tahun secara khusus belajar tentang Bimbingan dan Konseling. Pasti
berbeda, antara orang yang ahli dengan setengah ahli, antara orang yang belajar
khusus secara spesifik dengan yang menyentuh kulit luarnya saja.
Kira-kira,
jawaban-jawaban seperti itulah yang akan didapatkan jika belajar dan berkuliah
harus dikaitkan dengan pekerjaan, termasuk juga jurusan psikologi. Akan sangat
mengkhawatirkan. Jangankan lulusan jurusan dengan masa depan “samar” secara
pekerjaan, lulusan kedokteran dan beberapa jurusan yang konon lebih menjamin
pun justru banyak yang jadi pengangguran.
Adanya
kenyataan seperti ini, merupakan waktu bagi mahasiswa secara khusus, dan
pelajar secara umum, untuk kembali meluruskan tujuan dan niat, bahwa tugas
utama mereka adalah belajar, meneliti, dan mengabdi. Sah-sah saja menentukan
cita-cita ingin jadi apa dan bekerja dimana, yang penting belajar dan berlatih
dengan baik sehingga menjadi pelajar hebat dan bisa dipertanggungjawabkan
secara kualitas. Karena dengan itu, akan ada banyak peluang dan kesempatan, bahkan
mungkin sesuatu yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Tapi, bukankah masa
depan harus dipikirkan dengan matang? Bukankah tujuan akan menentukan usaha dan
cara yang akan dilakukan? Tapi, bukankah bersekolah, sejatinya bukan untuk mencari
kerja? Dan bukankah pendidikan tak bertujuan untuk mencari uang?
Logika
sederhananya, jika berkuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan uang, kenapa
harus susah-susah melalui jalan yang belum menjanjikan? Kenapa tidak berbisnis
saja, menjadi pengusaha misalnya. Bukankah itu tidak memerlukan ijasah?
Masalahnya, jika memutuskan untuk menjadi seorang sarjana tapi tidak menemukan
pekerjaan apalagi menjadi pengangguran, juga merupakan masalah besar, bahkan
menjadi tanggung jawab moral dan sosial.
Begitu
pula dengan jurusan psikologi, mau jadi apa? Jadi apa saja bisa, termasuk
menjadi presiden, yang penting bukan profesi khusus dengan pendidikan yang
khusus pula. Mau jadi psikolog, bisa. Jadi karyawan, juga bisa. Jadi PNS, tidak
masalah. Mau menjadi dosen, sangat bisa karena menjadi pengajar dan dosen
biasanya menjadi solusi pekerjaan terakhir (I’m sorry to say this, but it’s
realistic). Bahkan, ada salah seorang teman saya yang bekerja di salah satu
Bank nasional dengan ijasah psikologinya.
Di satu sisi,
persoalan kerja, saat ini, bergantung pada sejauh mana kualitas dan kemampuan
yang dimiliki, bukan hanya ijasah dan nilai yang tinggi, apalagi jika ijasahnya
hasil “colongan”. Di sisi lain, memperluas jaringan (link),
meningkatkan pengalaman, dan mengembangkan kemampuan melalui hal-hal yang
berada di luar kampus juga tidak boleh dilupakan.
Perbincangan
tentang ini, barangkali tidak akan selesai hanya dengan catatan kecil saya ini.
Yah, memang begitulah polemik klasik yang masih akut yang terjadi antara
kaum idealis dengan pragmatis. Selanjutnya, bergantung sejauh mana seseorang
bijak menghadapinya.
Namun
yang lebih penting adalah sejauh mana keilmuan itu bisa bermanfaat bagi orang
lain. Jangan mengukur kesuksesan dari apa yang didapatkan, sebab ukuran paling
ideal dari kesuksesan adalah kebahagiaan, dan itu tidak bisa disentuh dan
diraba, ia hanya bisa dirasakan oleh hati saja. Sehingga alumni psikologi,
masih bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dengan keilmuan yang dimilikinya
karena hampir semua orang mempunyai masalah psikologis. Pada titik inilah,
hampir semua ranah adalah pekerjaan bagi sarjana psikologi. Bukan hanya
kantor-kantor saja, tapi panti asuhan dan kolong jembatan berpenghuni pun
sejatinya adalah bagian dari pekerjaan mereka. Jadi menurut saya, jurusan
psikologi adalah jurusan paling prospek sekaligus paling bermanfaat. Apalagi, “Manusia
terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi yang lainnya,” begitulah yang
termaktub dalam sebuah Hadis Nabi.
Sebagai
konklusi, menurut saya, mendapatkan pekerjaan hanyalah bonus dari belajar dan
usaha keras yang telah dilakukan. Jadi, tidak usahlah terlalu dipusingkan
dengan mau jadi apa dan kerja dimana saat sudah menjadi sarjana, termasuk
sarjana psikologi. Tentu dengan tanpa melupakan rencana masa depan yang
diinginkan.
Akhirnya,
catatan ini saya sudahi dengan salah satu lagu terbaik karya penyanyi
legendaris Indonesia; Iwan Fals. Dengarkan, bayangkan, dan resapi
lirik-liriknya…
Sarjana Muda
Berjalan
seorang pria muda
Dengan
jaket lusuh di pundaknya
Disela …
tampak mengering
Terselip
sebatang rumput liar
Jelas
menatap awan berarak
Wajah
murung semakin terlihat
Dengan
langkah gontai tak terarah
Keringat
bercampur debu jalanan
Engkau
sarjana muda resah mencari kerja
Mengandalkan
ijasahmu
Empat
tahun lamanya bergelut dengan buku
Tuk
jaminan masa depan
Langkah
kakimu berhenti
Di depan
halaman sebuah ...
Tercenung,
lesu engkau melangkah
Dari
pintu kantor yang diharapkan
Terngiang
kata tiada lowongan
Untuk
kerja yang didambakan
Tak
peduli berusaha lagi
Namun
kata sama kau dapatkan
Jelas
menatap awan berarak
Wajah
murung semakin terlihat
Engkau
sarjana muda, resah tak dapat kerja
Tak
berguna ijasahmu
Empat
tahun lamanya bergelut dengan buku
Sia-sia
semuanya
Setengah
putus asa, dia berucap, maaf ibu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar